IURIS BONUMQUE

Selasa, 12 Januari 2010

TAMBANG TIMAH DAN ANCAMAN KEPUNAHAN EKOSISTEM
TELAAH REFLEKTIF BERDASARKAN TEORI ETIKA UTILITARISME
TERHADAP TAMBANG TIMAH INKONVENSIONAL (TI)
DI PULAU BANGKA - BELITUNG

BAB I
PENDAHULUAN


A. LATAR BELAKANG
Krisis ekologi merupakan isu moral yang terus mendesak dan memanggil semua orang dari berbagai latar belakang sosial, agama, budaya dan kebangsaan untuk memberikan perhatian secara nyata dan serius. Isu moral tersebut menjadi kian penting manakala disadari bahwa konsumsi yang berlebihan dan pertambahan penduduk yang tak terkendali merupakan dua faktor utama yang membebani daya dukung bumi secara berlebihan. Hal ini berarti bahwa bumi yang tengah menderita ini tidak bisa diabaikan, bahkan ia tidak dapat terus menerus menanggung penderitaan kalau kita tidak menghendaki bahwa kemanusiaan di masa depan berada dalam bahaya. Kita sekarang berada dalam posisi untuk melakukan sesuatu.
Dalam perspektif teologis-juridis, gagasan pokok di atas menegaskan bahwa Allah sang pemilik dunia tidak saja mendesak kita untuk memerhatikan keadilan sosial, yakni relasi yang baik antara masyarakat, tetapi juga keadilan ekologis, yang berarti relasi yang baik antara manusia dengan ciptaan lainnya dan dengan bumi sendiri. Sekarang ciptaan diakui sebagai satu komunitas makhluk ciptaan dalam kaitan relasi dengan yang lain dan dengan Allah Tritunggal. Keutuhan ciptaan adalah bagian esensial dari semua tradisi iman dan merupakan hal penting karena dengannya dialog, kerja sama dan saling pengertian dapat dibangun.
Pemahaman tentang keutuhan ciptaan sebenarnya juga terkandung dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PLH). Di dalam Pasal 1 angka 1 UU PLH pemahaman tentang keutuhan ciptaan ditemukan dalam rumusan pengertian tentang lingkungan hidup.
Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.”

Tanggung jawab terhadap keutuhan ciptaan melingkupi semua unsur yang ada di dalam ciptaan itu sendiri, yakni manusia, ruang dan benda, daya, keadaan dan makhluk hidup.
Krisis lingkungan pada dasarnya adalah krisis nilai. Kita membutuhkan suatu model sikap untuk melihat dunia secara berbeda. Lepas dari perubahan-perubahan yang ada kita dapat mulai dari gaya hidup kita sebagai landasan, hal ini penting karena kita bekerja demi mengubah kebijaksanaan pada level internasional dan nasional. Hal tersebut mencakup pangggilan kepada pertobatan ekologis, memperdalam pemahaman kita akan perubahan iklim dan masalah-masalah ekologis. Pendidikan diperlukan agar masyarakat waspada tidak saja terhadap lingkungan yang mengancam planet tetapi juga waspada terhadap misteri yang mendasari eksistensi planet.
Terang bahwa semua bentuk kehidupan mempunyai hubungan saling kebergantungan. Interdependensi ekologis ini ternyata mempunyai keterkaitan yang rumit dalam jaringan kehidupan. Namun dalam kerumitan itu kita diberi pemahaman bahwa terdapat hubungan kekerabatan antara keanekaragaman dalam biosfer. Hal ini berarti manusia tidak berdiri di luar kisah kosmik yang lain, tetapi berada dalam sautu jaringan ekosistem yang bisa dirunut dalam sejarah biologi dan teori evolusi. Sebagai satu kesatuan itulah manusia dituntut untuk lebih bertanggung jawab dalam mengungkapkan kebersatuan dan partisipasinya di dalam alam ini. Ungkapan partisipatoris itu berhubungan dengan kepentingan pribadi manusia, tetapi serentak mensyaratkan bahwa manusia perlu mempertimbangkan efek dari semua tindakannya pada semua bentuk kehidupan yang lain.
Gagasan-gagasan pokok di atas inilah yang menginspirasi penulis untuk menganalisis persoalan penambangan timah inkonvensional (TI) di Pulau Bangka dalam perspektif teori etika utilitarisme. Masyarakat Bangka sejatinya sudah mulai menyadari bahwa kerusakan alam yang tengah terjadi merupakan ancaman serius bagi kelangsungan hidup seluruh ekosistem yang ada. Keuntungan yang mereka nikmati saat ini tidak sebanding dengan malapetaka yang bakal terjadi di masa depan.

B. RUMUSAN PERMASALAHAN
Fakta bahwa saat ini Pulau Bangka sedang menghadapi kehancuran. Kerusakan alam terjadi secara masif dan nyaris tak terkendali. Berbagai regulasi, baik nasional maupun daerah sebenarnya sudah cukup dan menjadi pegangan bagi semua pihak agar usah pertambangan dapat dikendalikan dengan memerhatikan keutuhan ekosistem yang ada. Bahkan masyarakat sendiri sejatinya sadar bahwa pertambangan timah hanya mewariskan kehancuran alam bagi generasi yang akan dating. Akan tetapi kesadaran luhur ini tertutup oleh keserakahan untuk mendapatkan nilai ekonomis yang besar dari hasil pertambangan. Hal-hal seperti itulah yang menarik minat penulis untuk mencermati sejauh mana persoalan lingkungan mendera masyarakat Bangka serta kesadaran etis seperti apa yang harus dibangun untuk menjaga keutuhan ciptaan di pulau tersebut.
Oleh karena itu, pertanyaan yang menjadi orientasi penulisan ini adalah:
1. Bagaimana praksis pertambangan timah meninggalkan kehancuran lingkungan yang semakin tak terkendalikan?
2. Apa yang mau dikatakan oleh kaum utilitaris dan penganut paham deontologis mengenai praktik pertambangan dan kehancuran yang sedang terjadi?
3. Jika kita sedang berada dalam posisi untuk melakukan sesuatu, apa yang akan dibuat agar kepentingan ekonomi tidak mengorbankan keutuhan ekosistem yang ada?


BAB II
PERTAMBANGAN TIMAH INKONVENSIONAL

A. GAMBARAN UMUM
Penambangan timah di Pulau Bangka sudah dimulai sejak abad ke-18 atau tepatnya pada tahun 1709. Timah dari Bangka memenuhi 40% kebutuhan timah dunia. Setelah digali selama lebih dari 300 tahun, para ahli memperkirakan cadangan timah di pulau ini hanya cukup untuk 10-15 tahun kedepan. Selain penambangan timah skala besar yang dilakukan PT Timah dan PT Koba Tin, pada tahun 1990-an muncul ribuan penambang tradisional dan pertambangan timah ilegal.
Omzet yang diperoleh Pulau Bangka Belitung dari pertambangan timah adalah Rp. 24,3 miliar sehari. Hanya saja pendapatan yang besar ini belum bisa dinikmati oleh seluruh masyarakat di kedua pulau itu. Harga yang harus dibayar masyarakat dan generasi selanjutnya akibat kerusakan lingkungan dan ancaman kesehatan bisa jadi lebih besar daripada keuntungan yang diperoleh saat ini. Propinsi Bangka-Belitung yang merupakan satu di antara propinsi terkaya di Indonesia belum bisa memenuhi kebutuhan listrik warganya. Sekitar 46% daerah di Bangka-Belitung belum mendapat aliran listrik. Jika pun sudah, listrik seringkali padam. Kondisi krisis listrik ini terjadi karena minimnya produksi listrik dari pembangkit yang ada. Pemerintah telah berupaya mengatasi krisis listrik di Bangka-Belitung dengan mengeluarkan Perpres No. 17 Tahun 2006 untuk mempercepat pembangunan listrik dengan menggunakan batubara. Namun, pembangunan tiga PLTU baru akan terealisasi pada 2009-2010.
Selain masalah kurangnya pasokan listrik, Bangka-Belitung juga mengalami masalah serius dengan ketersediaan air. Sekitar 43,8% daerah di propinsi ini tidak memiliki akses ke air bersih. Kebutuhan terhadap air bersih pun akan terus meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan meningkatnya angka pencemaran. Ada tiga masalah utama menyangkut ketersediaan air bersih di propinsi ini. Pertama, adanya kelangkaan lokal dalam alokasi air untuk berbagai sektor akibat bertambahnya penduduk dan meningkatnya kebutuhan air. Kedua, akses suplai air bersih dari institusi pengelola tidak memadai. Ketiga, adanya tekanan terhadap lingkungan yang disebabkan pembangunan yang tidak memperhatikan lingkungan, industrialisasi dan urbanisasi. Krisis air bersih di Bangka-Belitung tidak terlepas dari posisi Bangka-Belitung sebagai pusat pertambangan timah. Intrusi air laut ke sumber-sumber mata air merupakan dampak penambangan yang tidak terkendali di wilayahwilayah kawasan lindung dan sumber mata air.
Pengelolaan limbah pertambangan yang asal dan tidak memperhatikan lingkungan turut mengurangi sumber, cadangan dan volume air bersih yang tersedia. Air menjadi tidak layak dikonsumsi karena tingkat keasaman (pH) rendah dan mengandung logam berat. Selain masalah air, dampak lain yang ditimbukan oleh pertambangan timah, khususnya pertambangan ilegal adalah terkikisnya lapisan tanah sehingga tanah menjadi retak saat kemarau. Penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian-Limnologi LIPI menemukan kandungan logam berat pada organisme yang hidup di kolong (bekas galian penambangan timah). Pada plankton dan ikan yang hidup di kolong tersebut selama lebih dari 5 bulan terdapat kandungan Fe, Pb dan Zn yang sudah melebihi ambang batas normal yaitu lebih dari 4 ppm. Air yang tercemar dan kemudian dikonsumsi manusia dapat menyebabkan sejumlah penyakit seperti keracunan, kanker, dan berbagai penyakit lainnya. Kasus bayi lahir dengan usus terburai yang marak diberitakan pada akhir 2006 adalah contoh dampak buruk pertambangan timah di Bangka-Belitung. Radiasi dari limbah pertambangan timah seperti Radon dan Uranium pada ibu hamil dapat menyebabkan bayi lahir dengan usus terburai.
Ternyata, dampak negatif yang ditimbulkan dari aktivitas ini justru lebih besar dan lebih luas. Krisis listrik, kurangnya ketersediaan air bersih dan kasus bayi lahir dengan usus terburai adalah masalah-masalah yang muncul akibat manajemen sumber daya alam yang tidak berkelanjutan dan kurang memperhatikan aspek lingkungan. Keuntungan yang diperoleh hanya bisa dinikmati oleh sekelompok orang saja, sedangkan pihak-pihak yang terkena dampak negatifnya justru lebih besar dan lebih luas.

B. SITUASI SEKARANG
Pertambangan inkonvensional hingga kini masih terus berlangsung dan mulai merambah areal hutan lindung dan beberapa daerah penyangga sumber air minum. Lubang bekas tambang dibiarkan terbuka dan membentuk telaga-telaga kecil yang menyebar merata di kedua pulau tersebut. Kolam-kolam bekas tambang tidak dapat dikelola mengingat kandungan zat asamnya sangat tinggi. Sat asam tersebut berpotensi mencemari air tanah, dan tanpa disadari pada gilirannya mengancam keselamatan manusia itu sendiri.
Akibat aktifitas liar yang masif tersebut berbagai program penghijauan dan pertanian tidak berjalan. Kendala utamanya tidak hanya disebabkan oleh masyarakat itu sendiri yang melakukan aktifitas penambangan inkonvensional tetapi pemerintah daerah senidiri tidak mempunyai aturan yang tegas perihal penetapan areal pertambangan. Adanya proses perijinan yang mudah sehingga memungkinkan siapa saja dapat melakukan kegiatan penambangan, pengawasan yang lemah, pungutan-pungutan liar yang dilakukan oleh aparatur pemerintah daerah, keuntungan finansial yang tinggi (bagi aparatur pemerintah daerah dan para penambang) adalah faktor-faktor lain yang memperparah kerusakan yang suda dan akan terus terjadi.

C. UPAYA PENCEGAHAN
Mencegah laju kerusakan lingkungan akibat pertambangan timah bagaikan mengurai benang kusut. Kendati demikian, upaya membendung laju pertambangan yang semakin tak terkendali mulai dilakukan oleh aparat kepolisian daerah Bangka Balitung. Pada akhir tahun 2008 Polda Bangka Belitung menutup paksa 50 unit TI di darat dan 34 unit TI apung (daerah laut pesisir/pantai) . Polisi juga menahan 18 orang tersangka yang tergolong sebagai pengusaha besar TI dan menyita 15 unit eskavator.
Upaya pihak kepolisian ini sejatinya didukung oleh pemerintah daerah. Hanya saja, harapan ini hanya menggantang asap. Pemerintah daerah (di tingkat kabupaten dan kota) justru memanfaatkan para pengusaha TI dan masyarakat (para penambang tradisonil) sebagai sumber devisa daerah. Tindakan pemda demikian bertolak belakang dengan upaya kepolisian dalam mencegah kerusakan alam akibat TI tersebut. Alasan klasik dari pemda adalah tidak ada pilihan lain bagi warganya untuk meningkatkan kesejahteraan ekonominya selain menambang. Oleh karena itu, pemda harus memfasilitasi dan memberikan kemudahan demi kesejahteraan masyarakatnya.
Bagi masyarakat sendiri, krisis ekonomi yang ditandai dengan melambungnya harga kebutuhan pokok mendorong mereka untuk memilih menambang lantaran lebih cepat mendatangkan hasil dibandingkan dengan usaha lain, seperti perkebunan/pertanian, perikanan. Kondisi ini mendorong masyarakat untuk mendesak pemda agar mempermudah proses perijinan. Masalah pertama muncul. Perijinan tidak dibarengi dengan pemetaan areal pertambangan. Karena itulah, areal hutan lindung atau kawasan perbukitan sebagai daerah penyangga air dijadikan sebagai kawasan pertambangan. Akibat lanjutnya adalah sebagian wilayah ini perlahan berubah menjadi gurun pasir. Sumber air minum menjadi langkah. Berbagai kejahatan dan penyakit sosial mulai tumbuh subur di kedua wilayah ini. Nikmat hasil tambang hilang dalam waktu sekejab, sementara bahaya yang lebih besar sudah siap menanti, setidaknya untuk generasi yang akan datang.


BAB III
MEMAHAMI PERSOALAN DALAM PERSPEKTIF
TEORI ETIKA UTILITARISME

A. ETIKA UTILITARISME
Maksud utama dari utilitarisme adalah suapay semua selalu bertindak sedemikian rupa sehingga sebanyak mungkin orang bahagia. Artinya setiap tindakan kitya harus menghasilkan akibat-akibat yang baik demi kebahagiaan sebanyak mungkin orang. Akibat-akibat-akibat baik itu bukan dilihat dari sisi kepentingan si pelaku, melainkan harus dari sisi kepentingan semua orang orang yang terkena akibat tindakan kita. Dalam konteks ini, bagi kaum utiklitaris, tindakan kita harus selalu memerhatikan akibat-akibatnya bagi semua orang yang secara langsung atau tidak langsung terkena tindakan kita tersebut.
Menurut kaum utilitaris tindakan pada dirinya sendiri bersifat netral. Yang member nilai moral kepada tindakan-tindakan itu adalah tujuan dan akibat-akibatnya, tetapi sejauh hal itu diperhitungkan sebelumnya. Kaum utilitaris baru akan memberi penilaian moral apakah tindakan kita dapat dilaksanakan atau tidak setelah kita memberikan alasan yang masuk akal (rasional) dengan mempertimbangkan akibat-akibat baik dan buruknya. Pada titik ini utilitarisme sebenarnya memberikan kritik atas setiap aturan. Menurutnya atauran moral harus dapat dipertanggungjawabkan, jika tidak maka sebaiknya dilepaskan.
Dalam konteks pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kebijakan publik, kaum utilitaris menghendaki agar kita harus memilki alternatif yang menghasilkan akibat-akibat positif yang lebih besar dibandingkan dengan akibat-akibat buruk. Secara tegas utilitarisme mengatakan bahwa manusia dalam setiap tindakannya wajib berusaha menghasilkan kebaikan yang lebih besar bagi sebanyak mungkin orang. Di sini utilitarisme sebenarnya menyerukan suatu prinsip universal. Artinya tuntutan untuk bertindak baik bukan demi kepentingan pelaku tindakan itu sendiri tetapi untuk kepentingan orang lain. Jadi perhatiannya lebih kepada kepentingan semua orang yang terpengaruh oleh akibat dari suatu tindakan, termasuk kepentingan pelaku itu sendiri. Dengan ini utilitarisme memberikan suatu pesan moral bahwa dengan mengorbankan kepentingan sendiri demi kebaikan orang lain adalah suatu tindakan moral yang bernilai tinggi.
Rasionalitas kaum utilitaris terletak dalam pandangannya bahwa orang harus melihat terlebih dahulu segi-segi yang relevan agar dapat mengambil keputusan secara tepat. Rasionalitas ini sejalan dengan sebuah prinsip moral yang fundamental dari kaum utilitaris yakni “kita bertanggung jawab atas akibat-akibat dari apa yang kita lakukan”. Ini berarti tindakan kita harus diupaya agar sesuai dengan kepentinga, hak dan harapan sebanyak mungkin orang. Dengan demikian bagi kaum utilitaris tuntutan selanjutnya adalah “setiap orang bertanggung jawab terhadap sesamanya”. Sebab sesamalah orang yang akan terkena akibat dari tindakan kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Copyright© iuridicialis